Perusahaan bimbel online terbesar di AS, Chegg, dikabarkan bangkrut setelah para siswa di sana beralih menggunakan ChatGPT untuk membantu mereka memahami materi hingga memecahkan masalah tugas sekolah.
Chegg sendiri merupakan tempat bimbel paling terkenal di AS. Perusahaan edukasi ini telah berdiri sejak tahun 2000-an. Berawal dari bisnis menyewakan buku pelajaran, dan terus berkembang menjadi tempat belajar daring para pelajar AS selama bertahun-tahun.
Para pelajar AS membayar sekitar Rp 300 ribu per bulan untuk berlangganan Chegg. Dengan harga tersebut, pelanggan mendapatkan jawaban soal-soal tertentu dan mendapat akses konsultasi dengan para ahli. Pada 2021, tepatnya saat pandemi menghantam AS dan seluruh dunia, Chegg menduduki puncak kesuksesannya.
Namun, hadirnya ChatGPT ternyata sangat berdampak pada bisnis pendidikan, termasuk bimbingan belajar macam Chegg. Banyak pelajar beralih menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah, dan membatalkan langganan di Chegg.
ChatGPT yang dilatih menggunakan sejumlah besar data dan informasi mampu memberikan jawaban dalam hitungan detik. Keuntungan ChatGPT dibandingkan Chegg dalam membantu menyelesaikan tugas (PR) menjadi sangat jelas bagi para siswa.
Secara tidak langsung, ini membuat saham Chegg turun drastis hingga 99% dan perusahaan telah kehilangan setengah juta pelanggan berbayar. Penurunan dari kuartal ke kuartal bikin Chegg tak mampu membayar utang.
Meski Chegg sudah mengadopsi AI ke platform-nya, ini tidak membuat perusahaan mendapat kembali kepercayaan dari para pelanggan dan investornya.
Belum jelas apa yang akan dilakukan Chegg untuk mengatasi masalah ini. Dilaporkan Wall Street Journal, Chegg telah memberhentikan 441 karyawan selama musim panas, seperempat dari tenaga kerjanya.
CEO Chegg, Dan Rosenweig, yang telah memimpin perusahaan edukasi tersebut selama dekade terakhir telah mengundurkan diri pada Juni 2024 lalu. Posisi ini kemudian digantikan oleh Nathan Schultz, yang langsung melakukan PHK besar-besaran.
Pada 2022, karyawan Chegg sebenarnya sudah meminta pihak perusahaan untuk mengembangkan perangkat AI guna otomatisasi jawaban dan mengatasi lonjakan pelanggan. Namun, para pemimpin Chegg menolak permintaan tersebut. Mereka menyepelekan kehadiran AI dengan asumsi bahwa chatbot sering kali membuat jawaban yang salah.